“The Others” Itu Masih Ada

Hari itu, “oranje” kedatangan tamu tak diundang. Bayonet serdadu siap menghadang mereka yang terdiri atas para pemuda, pelajar hingga guru. Sejurus kemudian, batu-batu beterbangan. Suara tembakan menggema. Lalu, dengan semangat membara peristiwa perobekan bendera penjajah terjadi. Sang dwi warna pun berkibar di atas tempat singgah para kolonialis.
Insiden heroik itu terjadi 62 tahun lalu (19/9/1945). Hotel Oranje Surabaya menjadi tempat dimana semangat perubahan atas ketertindasan, menemukan momennya. Peristiwa perobekan bendera Belanda menjadi simbol perjuangan dan mendapat tempat terhormat di dalam sejarah revolusi Indonesia.
Kini tidak ada lagi perobekan bendera. Yang ada hanya pemasangan bendera merah putih untuk menyambut hari nasional yang menyimbolkan perjuangan. Seiring dengan itu, perasaan cinta tanah air didendangkan di semua tempat. Sayang, keagungan tersebut ternodai dengan “penghilangan” bendera di sejumlah daerah. Adakah masalah yang belum terselesaikan sampai-sampai menurunkan bendera secara massal di tengah peringatan hari kemerdekaan bangsa?

Tanda kezaliman
Bendera adalah simbol negara. Bukan hanya sekedar kain berwarna yang berkibar di tiang penyangga, namun juga bagian dari sejarah yang mensaratkan perjuangan. Di kemudian hari, benda ini menjadi alat pemersatu, berjalin dengan harapan atas terwujudnya tatanan masyarakat agar lebih baik. Jikalau ada kemarahan, ketidakpuasan, dan kekecewaan pada pemerintah atau negara, maka bendera bisa menjadi media di dalam mengekspresikannya.
Kejadian penurunan bendera secara paksa tepat menjelang perayaan HUT RI di sejumlah daerah, merupakan contoh ekspresi tersebut. Bedanya, jika peristiwa Hotel Oranje dilakukan di siang hari dan di depan barisan serdadu Jepang, penurunan bendera saat itu dilakukan di malam hari, di tengah hampir seluruh masyarakat yang memasang bendera dan umbul-umbul di sudut-sudut jalan dan di depan rumah sudah terlelap. Namun, yang sama adalah manifestasi dari ruh perlawanan.
potret-kemiskinan-papuaTindakan secara sembunyi-sembunyi tersebut bisa diterjemahkan sebagai representasi pandangan sekelompok orang, yang menyeru kepada masyarakat, untuk mempertanyakan komitmen negara (state) dalam mewujudkan cita-cita yang diharapkan sebagai sebuah bangsa (nation). Mereka adalah bagian dari bangsa yang merasa menjadi “yang lain” (the others), karena ketidakadilan negara hampir di berbagai sendi kehidupan. Bagi mereka, memperingati hari lahir bangsa Indonesia sama halnya melegitimasi tatanan kebijakan yang penuh kezaliman dan kenistaan.
Terbukti, peristiwa tersebut terjadi di sejumlah daerah yang masih rentan terpicu dengan isu disintegrasi, seperti Aceh dan Papua. Sebab, jamak diketahui kedua daerah tersebut sama-sama masih “bayi” di dalam mengenyam kemakmuran dibandingkan dengan di Jawa.
Bahkan, di Kabupaten Sampang Madura ikut pula terjadi hal yang serupa. Padahal, selama ini daerah tersebut dikenal tidak berbau separatisme. Meski belum diketahui motif secara pasti, reaksi spontan alih-alih menyebut serangkaian tindakan tersebut sebagai bentuk pelecehan terhadap negara. Dalam melakukan penanganan, tentu mengandalkan kekuatan negara adalah pilihan rasional. Namun, sudahkah kita (bukan hanya pemerintah) yang kerap merasa benar sendiri, instropeksi di dalam memandang dan memperlakukan the others lebih manusiawi?

Merekatkan keagungan
Kebuntuan ekonomi dan politik kerap menjadi masalah di tengah miskinnya keadilan di bumi pertiwi. Di samping itu, ada juga karena perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat di dalam mengelola sumber daya alam. Kasus yang terjadi antara warga Papua dengan PT Freeport, misalnya.thumb_tp_hunger
Dalam penelitian sejumlah ahli, hukum adat Papua dalam melakukan jual beli tanah sebenarnya memisahkan antara lapisan permukaan dan yang ada di dalam tanah. Ketika transaksi yang melibatkan pemerintah, investor asing dan warga dimulai tahun 1970-an, sayangnya, hal itu belum menyentuh pada persoalan kearifan lokal tersebut. Akibatnya, kegelisahan warga semakin menjadi ketika mengetahui bentuk keadilan versi pemerintah ternyata berbanding terbalik dengan yang berlaku di masyarakat setempat. Warga Papua menjadi orang asing di tanahnya sendiri.
Secuil peristiwa diatas adalah bagian kecil dari permasalahan yang ada. Penurunan bendera di tengah perayaan kemerdekaan adalah kata-kata dari mereka yang terasing. Untuk itu, diperlukan kemauan kuat segenap komponen bangsa untuk memahami dan menyelesaikannya tanpa bersifat emosional.
Di samping itu, sebagai bangsa yang besar maka perbedaan individu, kelompok, dan nilai-nilai lokal patut dihargai dalam bingkai kemanusiaan dan keadilan. Di sinilah letak dimana simbol kenegaraan tidak terpisah dari konteks kekinian. Perjuangan masa lampau yang mengupayakan keadilan terwujud, seharusnya menjadi cermin proyek kemajuan. -Arya Wanda Wirayuda-

~ oleh arya wirayuda pada Januari 28, 2009.

Satu Tanggapan to ““The Others” Itu Masih Ada”

  1. saya sangat prihatin dengan kondisi kemiskinan yang terjadidi papua.untuk itu apa salahnya kalau papua lepas dari indonsia?????????.orang papua berhak untuk mendapatkan yang terbaik

Tinggalkan komentar